Thursday 7 June 2012

Erti IKHLAS dalam IBADAH


Apa makna ikhlas? Dan apabila seorang hamba menginginkan melalui ibadahnya sesuatu yang lain, apa hukumnya?   

Ikhlas kepada Allah Ta’ala maknanya seseorang bermaksud melalui ibadahnya tersebut untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Ta’ala dan mendapatkan keredhaan-Nya.

Bila seorang hamba menginginkan sesuatu yang lain melalui ibadahnya, maka disini perlu diperincikan lagi berdasarkan klasifikasi-klasifikasi berikut :

Pertama
Dia memang ingin bertaqarrub kepada selain Allah di dalam ibadahnya dan ingin mendapatkan pujian semua makhluk atas perbuatannya tersebut. Maka, ini menggugurkan amalan dan termasuk syirik.

Di dalam hadis yang sahih dari Abu Hurairah r.a. bahawasanya Nabi SAW bersabda, Allah Ta’ala berfirman :

“Aku adalah Zat Yang paling tidak memerlukan sekutu, barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya dia mempersekutukan-Ku dengan sesuatu selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya berserta kesyirikan yang diperbuatnya.” [HR : Muslim, kitab Az-Zuhd, no.2985]

Kedua
Dia bermaksud melalui ibadahnya untuk meraih tujuan duaniawi seperti pangkat, kepemimpinan, kehormatan dan harta, bukan untuk tujuan bertaqarrub kepada Allah. Maka amalan orang seperti ini akan gugur dan tidak dapat mendekatkan dirinya kepada Allah Ta’ala. Dalam hal ini, Allah Ta’ala berfirman :

“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” [Surah Hud : 15-16]

Perbezaan antara klasifikasi kedua dan pertama ialah, dalam klasifikasi pertama, orang tadi bermaksud agar dirinya dipuji atas ibadahnya tersebut sebagai ahli ibadah kepada Allah. Sedangkan pada klasifikasi kedua, dia tidak bermaksud agar dirinya dipuji atas ibadahnya tersebut sebagai ahli ibadah kepada Allah bahkan dia malah tidak peduli atas pujian orang terhadap dirinya.

Ketiga
Dia bermaksud  untuk bertaqarrub kepada Allah Ta’ala, disamping tujuan duniawi yang merupakan konsekuensi logis dari adanya ibadah tersebut, seperti dia memiliki niat dari thaharah yang dilakukannya (disamping niat beribadah kepada Allah) untuk menyegarkan badan dan menghilangkan kotoran yang menempel padanya, atau dia berhaji (disamping niat beibadah kepada Allah) untuk menyaksikan lokasi-lokasi syi’ar haji (Al-Masya’ir) dan bertemu para jemaah haji, maka hal ini akan mengurangi pahala ikhlas akan tetapi jika yang lebih dominan adalah niat beribadahnya, bererti pahala lengkap yang seharusnya diraih akan terlewatkan. Meskipun demikian, hal ini tidak berpengaruh bila pada akhirnya melakukan dosa. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala mengenai para jemaah haji.

“Tidak ada dosa bagimu mencari kurnia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabb-mu.” [Surah Al-Baqarah : 198]

Jika yang dominan adalah niat selain ibadah, maka dia tidak mendapatkan pahala akhirat, yang didapatnya hanyalah pahala apa yang dihasilkannya di dunia itu. Malah mungkin dia berdosa kerana hal itu, sebab dia telah menjadikan ibadah yang semestinya merupakan tujuan yang paling tinggi, sebagai sarana untuk meraih kehidupan duniawi yang hina. Maka tidak ubahnya seperti orang yang dimaksud di dalam firman-Nya :

“Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembahagian) zakat, jika mereka diberi sebahagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.” [ Surah At-Taubah : 58]

Di dalam Sunan Abu Daud dari Abu Hurairah r.a disebutkan bahawa ada seorang lelaki berkata : ‘Wahai Rasulullah, (bagaimana bila) seorang lelaki ingin berjihad di jalan Allah sementara dia juga mencari kehidupan duniawi?’ Rasulullah SAW bersabda : “Dia tidak mendapatkan pahala” Orang tadi mengulangi lagi pertanyaannya hingga tiga kali dan Nabi SAW menjawab sama, “Dia tidak mendapatkan pahala.” [HR : Abu Daud, Sunan Abu Daud kitab Al-Jihad (2516), Musnad Ahmad, Juz II, hal. 290, 366 tetapi di dalam sanadnya terdapat Yazid bin Mukriz, seorang yang tidak diketahui identitinya (majhul).

Demikian pula hadis yang terdapat di dalam kitab Ash-Sahihain dari Umar bin Al-Khatthab r.a. bahwasanya Nabi SAW bersabda :

“Barangsiapa yang hijrahnya kerana ingin meraih kehidupan duniawi atau untuk mendapatkan wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya hanya mendapatkan tujuan dari hijrahnya tersebut.” [HR : Bukhari & Muslim]

Jika niatnya 50:50, tidak ada yang lebih dominan antara niat beribadah dan non-ibadah ; maka hal ini masih perlu dikaji lebih lanjut. Akan tetapi, pendapat yang lebih persis untuk perkara seperti ini adalah sama juga, tidak mendapatkan pahala sebagaimana orang yang beramal kerana Allah dan kerana selain-Nya juga.

Perbezaan antara jenis ini dan jenis sebelumnya (jenis kedua), bahawa tujuan yang bukan untuk beribadah pada jenis sebelumnya terjadi secara sendiri. Jadi, keinginannya tercapai malalui perbuatannya tersebut secara sendirinya seakan-akan yang dia inginkan adalah hasil dari pekerjaan yang bersifat duniawi itu.

Yang jelas perkara yang merupakan ucapan (niat) hati amatlah serius dan begitu penting sekali. Indikasinya, boleh jadi hal itu dapat membuat seorang hamba mencapai tangga As-Siddiqin, dan sebaliknya boleh pula mengembalikannya ke darjat yang paling bawah sekali.

Sama-samalah kita memohon kepada Allah agar dianugerahi niat yang ikhlas dan lurus di dalam beramal. Waallahua’alam.

Rujukan : Kumpulan Fatwa dan Risalah dari Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 1, hal. 98-100.     

Penulis
AB & AIAQ

Friday 1 June 2012

GAY, LESBIAN & HOMOSEKSUAL


DOSA-DOSA HOMOSEKSUAL

Homoseksual  adalah seburuk-buruk perbuatan keji yang tidak layak dilakukan oleh manusia normal. Allah telah menciptakan manusia terdiri dari lelaki dan perempuan, dan menjadikan perempuan sebagai tempat lelaki menyalurkan nafsu biloginya, dan demikian sebaliknya. Sedangkan perilaku homoseksual (semoga Allah melindungi kita darinya) keluar dari makna tersebut dan merupakan bentuk perlawanan terhadap tabiat yang telah Allah ciptakan itu. Perilaku homoseksual merupakan kerosakan yang amat parah. Padanya terdapat unsur-unsur kekejian dan dosa perzinaan, bahkan lebih parah dan keji daripada perzinaan.

Aib wanita yang berzina tidaklah seperti aib lelaki yang melakukan homoseksual. Kebencian dan rasa jijik kita terhadap orang yang berbuat zina tidak lebih berat daripada kebencian dan rasa jijik kita terhadap orang yang melakukan homoseksual. Sebabnya adalah meskipun zina menyalahi syariat, akan tetapi zina tidak menyalahi tabiat yang telah Allah ciptakan (di antara laki-laki dan perempuan). Sedangkan homoseksual menyalahi syariat dan tabiat sekaligus.

Para alim ulama telah sepakat tentang keharaman homoseksual. Allah SWT dan Rasulullah SAW telah mencela dan menghina para pelakunya.

Firman Allah SWT, maksudnya : 

"Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya. ‘Mengapa kalian mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun  (di dunia ini) sebelum kalian? ‘Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu kalian (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kalian ini adalah kaum yang melampui batas" [Al-A’raf : 80-81]

Dalam kisah kaum Nabi Luth ini tampak jelas penyimpangan mereka dari fitrah. Sampai-sampai ketika menjawab perkataan mereka, Nabi Luth mengatakan bahawa perbuatan mereka belum pernah dilakukan oleh kaum sebelumnya.

BESARNYA DOSA HOMOSEKSUAL SERTA KEKEJIAN DAN KEJELEKANNYA

Kekejian dan kejelekan perilaku homoseksual telah mencapai puncak keburukan, sampai-sampai haiwan pun menolaknya. Kita tidak mendapatkan seekor haiwan jantan pun yang mengahwini haiwan jantan lain. Akan tetapi keanehan itu terdapat pada manusia yang telah rosak akalnya dan menggunakan akal tersebut untuk berbuat keburukan.

Dalam Al-Qur’an Allah menyebut zina dengan kata faahisyah (tanpa alif lam), sedangkan homoseksual dengan al-faahisyah (dengan alif lam), (jka ditinjau dari bahsa Arab) tentunya   perbezaan dua kta tersebut sangat besar. Kata faahisyah tanpa alif dan lam dalam bentuk nakirah yang dipakai untuk makna perzinaan menunjukkan bahwa zina merupakan salah satu perbuatan keji dari sekian banyak perbuatan keji. Akan tetapi, untuk perbuatan homoseksual dipakai kata al-faahisyah dengan alif dan lam yang menunjukkan bahwa perbuatan itu mencakup kekejian seluruh perbuatan keji. Maka dari itu Allah SWT berfirman. :

"Mengapa kalian mengerjakan perbuatan faahisyah itu yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelum kalian." [Al-A’raf : 80]

Maknanya, kalian telah mengerjakan perbuatan yang keburukan dan kekejiannya telah dikukuhkan oleh semua manusia.

Sementara itu, dalam masalah zina, Allah SWT berfirman :

"Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu faahisyah (perbuatan yang keji) dan suatu jalan yang buruk." [Al-Isra : 32]

Ayat ini menerangkan bahwa zina adalah salah satu perbuatan keji, sedangkan ayat sebelumnya menerangkan bahwa perbuatan homoseksual mencakup kekejian.

Zina dilakukan oleh lelaki dan perempuan kerana secara fitrah di antara lelaki dan perempuan terdapat kecenderungan antara satu sama lain, yang oleh Islam kecenderungan itu dibimbing dan diberi batasan-batasan syariat serta cara-cara penyaluran yang sebenarnya. Oleh kerana itu, Islam menghalalkan nikah dan mengharamkan zina serta memeranginya, Allah SWT berfirman:

"Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas." [Al-Mukminun : 5-7]

Jadi,  hubungan apapun antara lelaki dan perempuan di luar batasan syariat dinamakan zina. Maka dari itu hubungan antara lelaki dan perempuan merupakan panggilan fitrah keduanya, adapun penyalurannya mungkin dengan cara yang halal, mungkin pula dengan yang haram.

Akan tetapi, jika hal itu dilakukan antara lelaki dengan lelaki atau perempuan dengan perempuan, maka sama sekali tidak ada hubungannya dengna fitrah. Islam tidak menghalalkannya sama sekali kerana pada naluri dan fitrah manusia tidak terdapat kecenderungan seks lelaki kepada lelaki atau perempuan kepada perempuan. Sehingga jika hal itu terjadi, bererti telah keluar dari batas-batas fitrah dan tabiat manusia, yang selanjutnya melanggar hukum-hukum Allah. Firman Allah yang bermaksud :

"Yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelum kalian." [Al-A’raf : 80]

Mujtahid berkata : “Orang yang melakukan perbuatan homoseksual meskipun dia mandi dengan setiap titisan air dari langit dan bumi masih tetap najis”.

Fudhail Ibnu Iyadh berkata : “Andaikan pelaku homoseksual mandi dengan setiap titisan air langit maka dia akan menjumpai Allah dalam keadaan tidak suci”.

Ertinya, air tersebut tidak dapat menghilangkan dosa homoseksual yang sangat besar yang menjauhkan antara dia dengan Tuhannya. Hal ini menunjukkan betapa mengerikannya dosa perbuatan tersebut.

Amr bin Dinar berkata menafsirkan ayat diatas : “Tidaklah sesama lelaki saling meniduri melainkan termasuk kaum Nabi Luth”.

Al-Walid bin Abdul Malik berkata : “Seandainya Allah SWT tidak menceritakan kepada kita berita tentang kaum Nabi luth, maka aku tidak pernah berfikir kalau ada lelaki yang menggauli lelaki”.

AZAB DAN SIKSA KAUM NABI LUTH

Disebutkan bahwa Allah SWT menghujani mereka dengan batu. Tidak tersisa seorangpun melainkan dia dihujani batu tersebut. Sampai-sampai disebutkan bahawa salah seorang dari pedagang di Makkah juga terkena hujan batu sekeluarnya dari kota itu. Kerasnya azab tersebut menunjukkan bahwa homoseksual merupakan perbuatan yang paling keji sebagaimana yang disebutkan dalam dalil.

Dalam suatu hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. , dia berkata bahwa Nabi SAW bersabda :

"Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth. Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth. Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth."          [HR Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra IV/322 (no. 7337)]

Waallahua'lam...

- Abu Iqbal Al-Qaireen.